Anak Orang Hitam
KELIHATANNYA diskusi para shahabat yang tidak dihadiri oleh Rasulullah saw sangat serius. Mereka membicarakan tentang satu masalah. Nampak dalam jalsah (rapat) ada Khalid bin Walid, begitu pula Abdurahman bin Auf ikut serta duduk dalam rapat tadi. Bilal bin Rabah tidak ketinggalan kelihatan bersila di pojok majlis. Abu Dzhar turut hadir pula dan kebetulan pada saat itu sedang berbicara dengan penuh semangat. Abu Dzhar mengeluarkan pendapat apa yang harus dilakukan jika musuh datang menyerang. “Aku berpendapat jika musuh datang menyerang, tentara muslimin jangan tinggal diam” jelasnya. Ia mengutarakan pendapatnya panjang lebar apa yang seharusnya dilakukan tentara muslimin pada saat krisis.
Setelah Abu Dzhar selesai mengutarakan pendapatnya, lalu datang giliran Bilal. Apapun pendapat Bilal berlawanan sekali dengan Abu Dzhar. Ia menguraikan bahwa pendapat Abu Dzhar tidak tepat untuk diterapkan pada suasana perang saat itu. Mendengar uraian Bilal, Abu Dzhar marah besar. Ia merasa pendapatnya diremehkan. Lalu iapun melontarkan kata-kata yang membikin Bilal sakit hati. “Berani-berani kau menyalahkan pedapatku, hai anak orang hitam!” kata Abu Dzhar dengan sengit. Bilal pun diam tidak melawannya, lalu bangun dari tempat duduknya dan berkata “Demi Allah aku akan adukan hal ini kepada Rasulullah saw”.
Dengan rasa kesal, berangkatlah Bilal ke rumah Rasulullah saw. Setibanya disana ia mencurahkan isi hatinya kepada beliau. Ia menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya atas penghinaan yang dilontarkan Abu Dzhar. Berubahlah wajah Rasulullah saw mendengar aduan Bilal. Lalu beliau berdiri dan segera pergi menuju ke tempat dimana Abu Dzhar berada. Tapi beliau tidak masuk, beliau hanya lewat dan langsung pergi ke masjid.
Melihat Rasulullah saw lewat menuju masjid, Abu Dzhar pun langsung menghampirinya. Ia tahu persis bahwa beliau marah kepadanya. Setelah Abu Dzhar memberi salam, Rasulullah saw berkata kepadanya “Wahai Abu Dzhar, kamu telah menghina Bilal dan menghina asal usulnya, ketahuilah wahai Abu Dzhar sesungguhnya kamu asal usulnya adalah orang Jahiliyyah sebelum Islam”.
Abu Dzhar merasa terpukul dan menyesal sekali. Ia menangis di hadapan Rasulullah saw minta maaf atas kesalahannya. “Wahai Rasulullah, maafkan kesalahanku dan mintalah kepada Allah ampunan atas doaku”, ujarnya. Lalu iapun keluar sambil menangis dan segera menemui Bilal di luar. Ia merangkulnya meminta maaf. Apakah cukup begitu saja Abu Dzhar meminta maaf kepada Bilal??? Tidak. Ia lalu menempelkan sebelah pipinya di atas tanah di muka kaki Bilal seraya berkata “Demi Allah Wahai Bilal aku tidak akan angkat pipiku dari atas tanah kecuali kamu injak pipiku yang sebelah lagi dengan kakimu. Demi Allah sesungguhnya kamu orang terhormat dan aku yang terhina”.
Shubahanallah. Apakah Bilal rela menginjak pipi temannya Abu Dzhar dengan kakinya? Mustahil. Mustahil, ia rela menginjaknya. Kalau begitu apa yang dilakukan Bilal pada saat itu? Ia dekatkan mukanya ke pipi Abu Dzhar lalu menciumya berkali kali. kemudian diangkatnya dari tanah. Mereka berdua berpelukan dengan penuh kasih sayang dan tangisan
Kisah di atas kita bisa mengambil sebagai bahan renungan bahwa memaafkan itu bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan. Ketika seseorang telah dihina maka yang tersimpan biasanya perasaan dendam dan ingin membalas bahkan bisa sampai kepada permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahim. Sifat memaafkan hanya terdapat pada diri orang yang luar biasa seperti yang terdapat pada diri Bilal yang memiliki keluhuran akhlak, ia tidak hanya memaafkan Abu Dzhar, melainkan sekaligus membalasnya dengan kebaikan yang tak pernah terpikirkan oleh Abu Dzhar.
Sama halnya sifat meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan kepada diri seseorang yang telah dihina bukanlah sifat yang mudah. Meminta maaf memerlukan kesadaran hati dan perasaan berdosa. Apa yang dilakukan Abu Dzhar terhadap Bilal justru semakin mempererat hubungan silaturahim dan membuat mereka berdua adalah sahabat yang sangat setia.
“Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba permusuhan antaramu dan dia akan berubah menjadi persahabatan yang sangat setia”, Fushsshilat.
Setelah Abu Dzhar selesai mengutarakan pendapatnya, lalu datang giliran Bilal. Apapun pendapat Bilal berlawanan sekali dengan Abu Dzhar. Ia menguraikan bahwa pendapat Abu Dzhar tidak tepat untuk diterapkan pada suasana perang saat itu. Mendengar uraian Bilal, Abu Dzhar marah besar. Ia merasa pendapatnya diremehkan. Lalu iapun melontarkan kata-kata yang membikin Bilal sakit hati. “Berani-berani kau menyalahkan pedapatku, hai anak orang hitam!” kata Abu Dzhar dengan sengit. Bilal pun diam tidak melawannya, lalu bangun dari tempat duduknya dan berkata “Demi Allah aku akan adukan hal ini kepada Rasulullah saw”.
Dengan rasa kesal, berangkatlah Bilal ke rumah Rasulullah saw. Setibanya disana ia mencurahkan isi hatinya kepada beliau. Ia menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya atas penghinaan yang dilontarkan Abu Dzhar. Berubahlah wajah Rasulullah saw mendengar aduan Bilal. Lalu beliau berdiri dan segera pergi menuju ke tempat dimana Abu Dzhar berada. Tapi beliau tidak masuk, beliau hanya lewat dan langsung pergi ke masjid.
Melihat Rasulullah saw lewat menuju masjid, Abu Dzhar pun langsung menghampirinya. Ia tahu persis bahwa beliau marah kepadanya. Setelah Abu Dzhar memberi salam, Rasulullah saw berkata kepadanya “Wahai Abu Dzhar, kamu telah menghina Bilal dan menghina asal usulnya, ketahuilah wahai Abu Dzhar sesungguhnya kamu asal usulnya adalah orang Jahiliyyah sebelum Islam”.
Abu Dzhar merasa terpukul dan menyesal sekali. Ia menangis di hadapan Rasulullah saw minta maaf atas kesalahannya. “Wahai Rasulullah, maafkan kesalahanku dan mintalah kepada Allah ampunan atas doaku”, ujarnya. Lalu iapun keluar sambil menangis dan segera menemui Bilal di luar. Ia merangkulnya meminta maaf. Apakah cukup begitu saja Abu Dzhar meminta maaf kepada Bilal??? Tidak. Ia lalu menempelkan sebelah pipinya di atas tanah di muka kaki Bilal seraya berkata “Demi Allah Wahai Bilal aku tidak akan angkat pipiku dari atas tanah kecuali kamu injak pipiku yang sebelah lagi dengan kakimu. Demi Allah sesungguhnya kamu orang terhormat dan aku yang terhina”.
Shubahanallah. Apakah Bilal rela menginjak pipi temannya Abu Dzhar dengan kakinya? Mustahil. Mustahil, ia rela menginjaknya. Kalau begitu apa yang dilakukan Bilal pada saat itu? Ia dekatkan mukanya ke pipi Abu Dzhar lalu menciumya berkali kali. kemudian diangkatnya dari tanah. Mereka berdua berpelukan dengan penuh kasih sayang dan tangisan
Kisah di atas kita bisa mengambil sebagai bahan renungan bahwa memaafkan itu bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan. Ketika seseorang telah dihina maka yang tersimpan biasanya perasaan dendam dan ingin membalas bahkan bisa sampai kepada permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahim. Sifat memaafkan hanya terdapat pada diri orang yang luar biasa seperti yang terdapat pada diri Bilal yang memiliki keluhuran akhlak, ia tidak hanya memaafkan Abu Dzhar, melainkan sekaligus membalasnya dengan kebaikan yang tak pernah terpikirkan oleh Abu Dzhar.
Sama halnya sifat meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan kepada diri seseorang yang telah dihina bukanlah sifat yang mudah. Meminta maaf memerlukan kesadaran hati dan perasaan berdosa. Apa yang dilakukan Abu Dzhar terhadap Bilal justru semakin mempererat hubungan silaturahim dan membuat mereka berdua adalah sahabat yang sangat setia.
“Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba permusuhan antaramu dan dia akan berubah menjadi persahabatan yang sangat setia”, Fushsshilat.
Sumber : http://hasanalsaggaf.wordpress.com