TAK SATU JALAN KE MAKKAH..the Inspiring Story
Tukang Becak Naik Haji
sebuah Ibrah yang dapat kita renungi..
Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap Istiqomah atas sebuah keyakinan dalam menjalankan prinsip hidup..
Alkisah,
Pak Parman, demikian orang-orang memanggilnya. Dia hanyalah seorang tukang becak. Sudah bisa ditebak, berapa kekayaannya? Dia hanya punya tempat tinggal, dan itu pun kost di tempat yang kumuh, yang gentengnya sewaktu-waktu bisa bocor karena hujan. Meski begitu, Pak Parman memiliki budi yang sangat mulia. Kemiskinan yang merenggut kehidupannya, tidak menutup mata batinnya untuk selalu berbagi kepada orang lain.
“ Siapa kira orang miskin tidak bisa naik haji. Karena sedekah, tukang becak yang satu ini justru mendapatkan keberkahan untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Tapi, bukan harta yang bisa ia sumbangkan. Sebab, untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi berniat untuk berbagi harta kepada orang lain. Maka, yang hanya bisa dilakukan Pak Parman adalah “sedekah jasa”. Yaitu, setiap hari Jum’at ia menggratiskan semua penumpang yang naik becaknya. Ini adalah hal yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya, apalagi orang miskin seperti dirinya. Maka, atas kebaikannya itulah, suatu “keberkahan hidup” kemudian menghampirinya.
Suatu ketika, di hari Jum’at pertama bulan Ramadhan, tiba-tiba, ada orang yang kaya raya mobilnya mogok. Kebetulan, mogoknya tidak jauh dari pangkalan becak Pak Parman. Orang kaya itu pun bertanya kepada supirnya, “Pir, kalau naik becak kira-kira ongkosnya berapa ya?”
“Paling juga dua sampai tiga ribuan,” jawab supir kepada majikannya.
Orang kaya tersebut pun memutuskan naik becak karena sebenarnya jarak dirinya dengan rumahnya sudah lumayan dekat. Maka, dipanggillah tukang becak yang ada di pangkalan tersebut dan kebetulan Pak Parman yang datang. Lalu, digoeslah becak itu oleh Pak Parman menuju rumah orang kaya tersebut. Setelah sampai di tempat, Pak Parman dikasih uang 10 ribu dan tidak usah dikembalikan. Namun, oleh Pak Parman uang itu ditolaknya.
“Kenapa Bapak menolaknya?” tanya orang kaya itu..
“Saya sudah meniatkan dari dulu, kalau setiap Jum’at saya menggratiskan semua penumpang yang naik becak saya,” jawabnya jujur.
Setelah itu, Pak Parman pun pergi meninggalkan orang kaya tersebut. Rupanya, kejadian itu sangat membekas di hati orang kaya tersebut. Orang kaya seperti dirinya saja tidak pernah sedekah, ini orang miskin malah melakukannya dengan begitu tulus. Lalu, dikejarlah Pak Parman. Setelah dapat, Pak Parman pun dikasih uang satu juta.
Orang kaya itu pikir, Pak Parman akan menerimanya karena uangnya besar. Tapi, Pak Parman tetap menolaknya. Lalu, dinaikkan lagi menjadi dua juta dan tetap Pak Parman menolaknya. Alasan Pak Parman sama: dia tidak menerima uang sepeser pun di hari Jum’at untuk jasa ojek becaknya. Sebab, dia sudah meniatkannya untuk bersedekah. Subhanallah!
Tapi, hal ini justru membuat orang kaya tersebut semakin penasaran. Maka Jum’at berikutnya (di hari Ramadhan juga), orang kaya itu pun naik becak lagi. Ia sengaja meninggalkan supirnya untuk pulang ke rumah sendiri dan dia lebih memilih berhenti di pangkalan itu untuk bisa naik becak Pak Parman.
Maka diantarlah orang kaya tersebut ke rumahnya oleh Pak Parman. Setelah sampai, Pak Parman pun diberikan uang yang lebih besar lagi, kali ini 10 juta. Orang kaya itu pikir Pak Parman akan tergoda oleh uang sebanyak itu. Tapi, lagi-lagi, perkiraannya meleset. Pak Parman, sekali lagi, menolak uang yang bagi dia itu sebenarnya sangat besar.
Apalagi, sebentar lagi akan Lebaran dan uang itu pasti akan berguna buat dirinya dan keluarganya. Tapi, orangtua itu menolaknya dengan halus.
Kejadian ini benar-benar membuat orang kaya tersebut tidak mengerti. Kenapa orang miskin seperti Pak Parman tidak mau menerima uang sebesar itu? Padahal, uang itu bisa ia gunakan selama berbulan-bulan. Namun, rasa penasaran orang kaya itu rupanya tidak pernah berhenti.
Jum’at berikutnya, dia pun naik becak milik Pak Parman lagi. Namun, kali ini ia minta diantarkan ke tempat yang lain.
“Pak, antarkan saya ke rumah Bapak,” pinta orang kaya.
“Memangnya, ada apa, Pak?” jawab Pak Parman polos.
“Pokoknya, antarkan saya saja.”
Akhirnya, Pak Parman terpaksa mengantarkan orang kaya itu ke rumahnya. Mungkin orang kaya itu hanya ingin menguji: apakah tukang becak itu benar-benar orang miskin ataukah tidak? Mereka pun akhirnya sampai di rumah Pak Parman. Betapa terkejutnya orang kaya itu, karena rumah yang dimaksud hanyalah sebuah rumah kost yang sangat jelek.
Gentengnya sewaktu-waktu bisa roboh karena terpaan air hujan. Karena sangat iba melihat kejadian itu, orang itu pun merogoh uangnya sejumlah Rp. 25 juta.
“Ini Pak, uang sekedarnya dari saya. Mohon Bapak menerimanya,” pinta orang kaya kepada Pak Parman.
Apa reaksi Pak Parman? Ternyata, dengan halus dia pun tetap menolaknya. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan orang kaya itu. Bagaimana bisa orang semiskin dia menolak uang pemberian sebesar Rp. 25 juta? Kalau bukan dia adalah lelaki yang luar biasa, yang memiliki budi yang sangat luhur.
Akhirnya orang kaya itu pun menyerah. Dia benar-benar kalah dengan ketulusan hati Pak Parman. Ia percaya bahwa apa yang dilakukan Pak Parman benar-benar tulus dari hatinya. Ia benar-benar tidak tergoda oleh indahnya dunia dan kilaunya uang jutaan rupiah. Mungkin ia satu pribadi yang langka dari 1000 orang yang ada, yang sewaktu-waktu hanya muncul di dunia. Luar biasa!
Tapi, orang kaya itu berjanji bahwa suatu saat ia akan memberikan yang terbaik buat tukang becak yang berhati mulia tersebut. Sebab, mungkin, baru kali ini hatinya terusik lalu disadarkan oleh orang miskin yang hanya seorang tukang becak. Dan waktu pun terus berlalu.
Lebaran telah tiba. Pak Parman dan orang kaya itu tidak bertemu lagi. Menjelang Lebaran Haji (Idul Adha), orang kaya itu kembali menemui Pak Parman di rumah kostnya. Kembali ia pun datang di hari Jum’at. Mudah-mudahan kali ini niatnya tidak sia-sia. Setelah mereka bertemu, di depan Pak Parman orang kaya kemudian bicara terus terang,
“Pak, mohon kali ini niat baik saya diterima. Bapak dan istri serta anak Bapak akan saya berangkatkan haji ke Tanah Suci. Sekali lagi, mohon Bapak menerima niat baik saya ini?”
Pak Parman menangis di depan istri dan anak semata wayangnya. Pergi ke Mekkah saja tidak pernah ia bayangkan sejak dulu, ini apalagi ia dan keluarganya akan diberangkatkan naik haji. Ini benar-benar hadiah yang sangat luar biasa dari Allah swt. Tawaran orang kaya itu pun diterima Pak Parman dengan setulus hati.
Maka, Pak Parman dan keluarganya pun akhirnya pergi haji. Ya, seorang tukang becak yang miskin tapi memiliki hati yang sangat mulia akhirnya bisa melihat keagungan Ka’bah di Mekkah al-Mukarramah dan makam Nabi Muhammad saw di Madinah. Kebaikannya dibalas oleh Allah. Ia yang menolak satu juta, dua juta, 10 juta, hingga Rp. 25 juta, tapi Allah menggantinya dengan haji ke Baitullah, bersama istri dan anaknya! Jadi, berapa kali lipatkah keberkahan yang didapatkan Pak Parman karena sedekah yang ia lakukan setiap hari Jum’at?! Subhanallah!
Bahkan, tidak saja dihajikan secara gratis, Pak Parman akhirnya dibuatkan rumah oleh orang kaya tersebut. Maka, semakin berkahlah hidup si tukang becak berhati mulia itu. Dan sejak itu, Pak Parman pun bisa tinggal di sebuah tempat yang nyaman dan tidak memikirkan lagi uang untuk kost di bulan berikutnya.
Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap Istiqomah atas sebuah keyakinan dalam menjalankan prinsip hidup..
Alkisah,
Pak Parman, demikian orang-orang memanggilnya. Dia hanyalah seorang tukang becak. Sudah bisa ditebak, berapa kekayaannya? Dia hanya punya tempat tinggal, dan itu pun kost di tempat yang kumuh, yang gentengnya sewaktu-waktu bisa bocor karena hujan. Meski begitu, Pak Parman memiliki budi yang sangat mulia. Kemiskinan yang merenggut kehidupannya, tidak menutup mata batinnya untuk selalu berbagi kepada orang lain.
“ Siapa kira orang miskin tidak bisa naik haji. Karena sedekah, tukang becak yang satu ini justru mendapatkan keberkahan untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Tapi, bukan harta yang bisa ia sumbangkan. Sebab, untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi berniat untuk berbagi harta kepada orang lain. Maka, yang hanya bisa dilakukan Pak Parman adalah “sedekah jasa”. Yaitu, setiap hari Jum’at ia menggratiskan semua penumpang yang naik becaknya. Ini adalah hal yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya, apalagi orang miskin seperti dirinya. Maka, atas kebaikannya itulah, suatu “keberkahan hidup” kemudian menghampirinya.
Suatu ketika, di hari Jum’at pertama bulan Ramadhan, tiba-tiba, ada orang yang kaya raya mobilnya mogok. Kebetulan, mogoknya tidak jauh dari pangkalan becak Pak Parman. Orang kaya itu pun bertanya kepada supirnya, “Pir, kalau naik becak kira-kira ongkosnya berapa ya?”
“Paling juga dua sampai tiga ribuan,” jawab supir kepada majikannya.
Orang kaya tersebut pun memutuskan naik becak karena sebenarnya jarak dirinya dengan rumahnya sudah lumayan dekat. Maka, dipanggillah tukang becak yang ada di pangkalan tersebut dan kebetulan Pak Parman yang datang. Lalu, digoeslah becak itu oleh Pak Parman menuju rumah orang kaya tersebut. Setelah sampai di tempat, Pak Parman dikasih uang 10 ribu dan tidak usah dikembalikan. Namun, oleh Pak Parman uang itu ditolaknya.
“Kenapa Bapak menolaknya?” tanya orang kaya itu..
“Saya sudah meniatkan dari dulu, kalau setiap Jum’at saya menggratiskan semua penumpang yang naik becak saya,” jawabnya jujur.
Setelah itu, Pak Parman pun pergi meninggalkan orang kaya tersebut. Rupanya, kejadian itu sangat membekas di hati orang kaya tersebut. Orang kaya seperti dirinya saja tidak pernah sedekah, ini orang miskin malah melakukannya dengan begitu tulus. Lalu, dikejarlah Pak Parman. Setelah dapat, Pak Parman pun dikasih uang satu juta.
Orang kaya itu pikir, Pak Parman akan menerimanya karena uangnya besar. Tapi, Pak Parman tetap menolaknya. Lalu, dinaikkan lagi menjadi dua juta dan tetap Pak Parman menolaknya. Alasan Pak Parman sama: dia tidak menerima uang sepeser pun di hari Jum’at untuk jasa ojek becaknya. Sebab, dia sudah meniatkannya untuk bersedekah. Subhanallah!
Tapi, hal ini justru membuat orang kaya tersebut semakin penasaran. Maka Jum’at berikutnya (di hari Ramadhan juga), orang kaya itu pun naik becak lagi. Ia sengaja meninggalkan supirnya untuk pulang ke rumah sendiri dan dia lebih memilih berhenti di pangkalan itu untuk bisa naik becak Pak Parman.
Maka diantarlah orang kaya tersebut ke rumahnya oleh Pak Parman. Setelah sampai, Pak Parman pun diberikan uang yang lebih besar lagi, kali ini 10 juta. Orang kaya itu pikir Pak Parman akan tergoda oleh uang sebanyak itu. Tapi, lagi-lagi, perkiraannya meleset. Pak Parman, sekali lagi, menolak uang yang bagi dia itu sebenarnya sangat besar.
Apalagi, sebentar lagi akan Lebaran dan uang itu pasti akan berguna buat dirinya dan keluarganya. Tapi, orangtua itu menolaknya dengan halus.
Kejadian ini benar-benar membuat orang kaya tersebut tidak mengerti. Kenapa orang miskin seperti Pak Parman tidak mau menerima uang sebesar itu? Padahal, uang itu bisa ia gunakan selama berbulan-bulan. Namun, rasa penasaran orang kaya itu rupanya tidak pernah berhenti.
Jum’at berikutnya, dia pun naik becak milik Pak Parman lagi. Namun, kali ini ia minta diantarkan ke tempat yang lain.
“Pak, antarkan saya ke rumah Bapak,” pinta orang kaya.
“Memangnya, ada apa, Pak?” jawab Pak Parman polos.
“Pokoknya, antarkan saya saja.”
Akhirnya, Pak Parman terpaksa mengantarkan orang kaya itu ke rumahnya. Mungkin orang kaya itu hanya ingin menguji: apakah tukang becak itu benar-benar orang miskin ataukah tidak? Mereka pun akhirnya sampai di rumah Pak Parman. Betapa terkejutnya orang kaya itu, karena rumah yang dimaksud hanyalah sebuah rumah kost yang sangat jelek.
Gentengnya sewaktu-waktu bisa roboh karena terpaan air hujan. Karena sangat iba melihat kejadian itu, orang itu pun merogoh uangnya sejumlah Rp. 25 juta.
“Ini Pak, uang sekedarnya dari saya. Mohon Bapak menerimanya,” pinta orang kaya kepada Pak Parman.
Apa reaksi Pak Parman? Ternyata, dengan halus dia pun tetap menolaknya. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan orang kaya itu. Bagaimana bisa orang semiskin dia menolak uang pemberian sebesar Rp. 25 juta? Kalau bukan dia adalah lelaki yang luar biasa, yang memiliki budi yang sangat luhur.
Akhirnya orang kaya itu pun menyerah. Dia benar-benar kalah dengan ketulusan hati Pak Parman. Ia percaya bahwa apa yang dilakukan Pak Parman benar-benar tulus dari hatinya. Ia benar-benar tidak tergoda oleh indahnya dunia dan kilaunya uang jutaan rupiah. Mungkin ia satu pribadi yang langka dari 1000 orang yang ada, yang sewaktu-waktu hanya muncul di dunia. Luar biasa!
Tapi, orang kaya itu berjanji bahwa suatu saat ia akan memberikan yang terbaik buat tukang becak yang berhati mulia tersebut. Sebab, mungkin, baru kali ini hatinya terusik lalu disadarkan oleh orang miskin yang hanya seorang tukang becak. Dan waktu pun terus berlalu.
Lebaran telah tiba. Pak Parman dan orang kaya itu tidak bertemu lagi. Menjelang Lebaran Haji (Idul Adha), orang kaya itu kembali menemui Pak Parman di rumah kostnya. Kembali ia pun datang di hari Jum’at. Mudah-mudahan kali ini niatnya tidak sia-sia. Setelah mereka bertemu, di depan Pak Parman orang kaya kemudian bicara terus terang,
“Pak, mohon kali ini niat baik saya diterima. Bapak dan istri serta anak Bapak akan saya berangkatkan haji ke Tanah Suci. Sekali lagi, mohon Bapak menerima niat baik saya ini?”
Pak Parman menangis di depan istri dan anak semata wayangnya. Pergi ke Mekkah saja tidak pernah ia bayangkan sejak dulu, ini apalagi ia dan keluarganya akan diberangkatkan naik haji. Ini benar-benar hadiah yang sangat luar biasa dari Allah swt. Tawaran orang kaya itu pun diterima Pak Parman dengan setulus hati.
Maka, Pak Parman dan keluarganya pun akhirnya pergi haji. Ya, seorang tukang becak yang miskin tapi memiliki hati yang sangat mulia akhirnya bisa melihat keagungan Ka’bah di Mekkah al-Mukarramah dan makam Nabi Muhammad saw di Madinah. Kebaikannya dibalas oleh Allah. Ia yang menolak satu juta, dua juta, 10 juta, hingga Rp. 25 juta, tapi Allah menggantinya dengan haji ke Baitullah, bersama istri dan anaknya! Jadi, berapa kali lipatkah keberkahan yang didapatkan Pak Parman karena sedekah yang ia lakukan setiap hari Jum’at?! Subhanallah!
Bahkan, tidak saja dihajikan secara gratis, Pak Parman akhirnya dibuatkan rumah oleh orang kaya tersebut. Maka, semakin berkahlah hidup si tukang becak berhati mulia itu. Dan sejak itu, Pak Parman pun bisa tinggal di sebuah tempat yang nyaman dan tidak memikirkan lagi uang untuk kost di bulan berikutnya.
Penjual Es Naik Haji
sebuah Ibrah yang dapat kita renungi..
Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap Istiqomah atas sebuah keyakinan dalam menjalankan prinsip hidup..
Alkisah,
Setelah sekian lama menabung, mengumpulkan lembar demi lembar rupiah dari hasil berjualan, terkumpullah dalam tabungan Pak Ahmad sejumlah uang yang cukup untuk membayar ongkos naik haji (ONH). Impian sejak muda untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebentar lagi akan terwujud. Doa-doa yang senantiasa terucap selepas shalat taklama lagi akan menjadi kenyataan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus bekerja ekstra keras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya keinginan Pak Ahmad untuk berhaji menjadikan dia mampu berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Sebenarnya, ada sedikit rasa "tidak enak" dalam hati Pak Ahmad. Uang yang dikumpulkannya itu hanya cukup untuk melunasi ONH untuk dirinya sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, uang itu terkumpul karena bantuan istrinya juga.
"Tidak apalah, mudah-mudahan Allah memberikan rezeki sehingga istrinya bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun berikutnya," begitu pikiran Pak Ahmad.
Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang tetang-ganya datang ke rumah untuk meminjam sejumlah uang untuk membayar biaya rumah sakit. Tetangga Pak Ahmad ini terbilang orang susah, untuk makan sehari-hari saja, dia kelimpungan.
Kesulitannya semakin bertambah ketika suaminya terkena sakit parah dan mau tidak mau dia harus menyelamatkan nyawanya dengan memasukkannya ke rumah sakit. Itu pun di kelas III yang hampir semua penghuninya kaum duafa. Setelah berusaha ke sana-kemari meminjam uang, hasilnya nihil, lalu ibu ini memberanikan diri datang ke rumah Pak Ahmad untuk meminjam uang.
Pak Ahmad pun dihadapkan pada pilihan sulit: meminjamkan uang dan cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan atau tidak meminjamkan uang dan membuat penderitaan tetangganya bertambah panjang. Setelah berdiskusi dengan istrinya, Pak Ahmad memilih jalan ketiga.
Dia tidak meminjamkan uang dan tidak pula menahannya, tetapi memberikan seluruh uang hajinya untuk membayar biaya rumah sakit tetangganya. Sebuah pilihan yang sangat berat dan berani serta tidak masuk akal dalam pandangan kaum materialis.
Bayangkan saja, bertahun-tahun menabung, peras keringat banting tulang mengumpulkan uang, ketika uang sudah terkumpul, dia memberikannya begitu saja kepada orang lain. Namun, amal kebaikan sering sekali tak bisa diukur dengan logika kebanyakan orang.
Sebagaimana tak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya atau "keanehan" sikap para sahabat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke Madinah walau harus melalui perjalanan yang sangat berat. Itulah buah keimanan yang teramat tinggi nilainya yang sulit dicerna oleh orang-orang yang matanya sudah silau dengan dunia.
Pak Ahmad dan istrinya sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah berjanji, "Barang siapa yang meringankan beban saudaranya di dunia, niscaya Allah akan meringankan bebannya di akhirat."
Kemampuan memilih prioritas amal yang disertai keyakinan yang mantap terhadap janji Allah telah menguatkan hati Pak Ahmad untuk memberikan hartanya yang paling berharga.
Disertai derai air mata sedih campur bahagia, tetangga Pak Ahmad menerima uang itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman sekarang masih ada orang yang berhati mulia seperti Pak Ahmad dan istrinya. Dia tak mampu berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan doa semoga Allah mengganti uang tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.
Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang menangani operasi Pak Fulan, tetangga Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien seperti Pak Fulan bisa membayar biaya operasi yang termasuk mahal, bahkan sangat muaaahal bagi sebagian orang. Padahal, dokter itu sudah bisa menebak latar belakang Pak Fulan. Iseng-iseng dia bertanya dari mana Pak Fulan mendapatkan uang, apakah dia menjual warisan, menjual ramah, meminjam, atau apa?
"Sama sekali bukan Dok, kami ini orang miskin, tidak punya apa-apa. Jangankan membayar biaya rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun harus gali lobang tutup lobang," jawab Pak Fulan.
"Lho, kalau begitu dari mana?"
"Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan biaya operasi kami."
Dokter itu makin penasaran, "Wah hebat benar orang itu. Pastilah dia orang kaya yang sangat dermawan."
"Oh.... Tidak Dok, dia orang biasa-biasa," Pak Fulan kemudi-an menceritakan kisah Pak Ahmad yang rela menunda ibadah haji demi meringankan beban penderitaan dirinya yang sekadar seorang tetangga.
Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu langsung meminta izin untuk diperkenalkan dengan Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh tentang siapa Pak Ahmad itu sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.
Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, "Saya ingin belajar ikhlas seperti yang Ibu-Bapak lakukan. Akan tetapi, bukan di sini, saya ingin belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak serta Ibu dan Bapak pergi ke sana tahun ini."
Mata Pak Ahmad tampak berkaca-kaca. Sejenak, dia tidak bisa berkata-apa. Dia seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Hingga akhirnya, ucapan hamdalah terucap dari bibirnya.
Begitulah, sebelum membalas kebaikannya di akhirat, Allah Swt. telah memberikan DP-nya terlebih dahulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk berhaji dengan istrinya akhirnya terlaksana dalam keadaan yang penuh bahagia.
Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap Istiqomah atas sebuah keyakinan dalam menjalankan prinsip hidup..
Alkisah,
Setelah sekian lama menabung, mengumpulkan lembar demi lembar rupiah dari hasil berjualan, terkumpullah dalam tabungan Pak Ahmad sejumlah uang yang cukup untuk membayar ongkos naik haji (ONH). Impian sejak muda untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sebentar lagi akan terwujud. Doa-doa yang senantiasa terucap selepas shalat taklama lagi akan menjadi kenyataan.
Pak Ahmad bukanlah orang kaya. Dia hanyalah penjual es yang harus bekerja ekstra keras agar bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk berhaji. Kuatnya keinginan Pak Ahmad untuk berhaji menjadikan dia mampu berdisiplin menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabungkan.
Sebenarnya, ada sedikit rasa "tidak enak" dalam hati Pak Ahmad. Uang yang dikumpulkannya itu hanya cukup untuk melunasi ONH untuk dirinya sendiri, tidak untuk istrinya. Padahal, uang itu terkumpul karena bantuan istrinya juga.
"Tidak apalah, mudah-mudahan Allah memberikan rezeki sehingga istrinya bisa kebagian jatah haji pada tahun-tahun berikutnya," begitu pikiran Pak Ahmad.
Satu hari menjelang pendaftaran, salah seorang tetang-ganya datang ke rumah untuk meminjam sejumlah uang untuk membayar biaya rumah sakit. Tetangga Pak Ahmad ini terbilang orang susah, untuk makan sehari-hari saja, dia kelimpungan.
Kesulitannya semakin bertambah ketika suaminya terkena sakit parah dan mau tidak mau dia harus menyelamatkan nyawanya dengan memasukkannya ke rumah sakit. Itu pun di kelas III yang hampir semua penghuninya kaum duafa. Setelah berusaha ke sana-kemari meminjam uang, hasilnya nihil, lalu ibu ini memberanikan diri datang ke rumah Pak Ahmad untuk meminjam uang.
Pak Ahmad pun dihadapkan pada pilihan sulit: meminjamkan uang dan cita-citanya untuk berhaji akan kandas di tengah jalan atau tidak meminjamkan uang dan membuat penderitaan tetangganya bertambah panjang. Setelah berdiskusi dengan istrinya, Pak Ahmad memilih jalan ketiga.
Dia tidak meminjamkan uang dan tidak pula menahannya, tetapi memberikan seluruh uang hajinya untuk membayar biaya rumah sakit tetangganya. Sebuah pilihan yang sangat berat dan berani serta tidak masuk akal dalam pandangan kaum materialis.
Bayangkan saja, bertahun-tahun menabung, peras keringat banting tulang mengumpulkan uang, ketika uang sudah terkumpul, dia memberikannya begitu saja kepada orang lain. Namun, amal kebaikan sering sekali tak bisa diukur dengan logika kebanyakan orang.
Sebagaimana tak masuk logikanya Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya atau "keanehan" sikap para sahabat yang rela meninggalkan tanah kelahirannya, sanak saudara, dan harta kekayaannya demi berhijrah ke Madinah walau harus melalui perjalanan yang sangat berat. Itulah buah keimanan yang teramat tinggi nilainya yang sulit dicerna oleh orang-orang yang matanya sudah silau dengan dunia.
Pak Ahmad dan istrinya sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan hamba-hamba-Nya. Bukankah Allah dan Rasul-Nya telah berjanji, "Barang siapa yang meringankan beban saudaranya di dunia, niscaya Allah akan meringankan bebannya di akhirat."
Kemampuan memilih prioritas amal yang disertai keyakinan yang mantap terhadap janji Allah telah menguatkan hati Pak Ahmad untuk memberikan hartanya yang paling berharga.
Disertai derai air mata sedih campur bahagia, tetangga Pak Ahmad menerima uang itu. Dia seakan tengah bermimpi, ternyata pada zaman sekarang masih ada orang yang berhati mulia seperti Pak Ahmad dan istrinya. Dia tak mampu berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan doa semoga Allah mengganti uang tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.
Kisah pun berlanjut. Seorang dokter yang menangani operasi Pak Fulan, tetangga Pak Ahmad, sedikit kaget. Kok bisa pasien seperti Pak Fulan bisa membayar biaya operasi yang termasuk mahal, bahkan sangat muaaahal bagi sebagian orang. Padahal, dokter itu sudah bisa menebak latar belakang Pak Fulan. Iseng-iseng dia bertanya dari mana Pak Fulan mendapatkan uang, apakah dia menjual warisan, menjual ramah, meminjam, atau apa?
"Sama sekali bukan Dok, kami ini orang miskin, tidak punya apa-apa. Jangankan membayar biaya rumah sakit yang puluhan juta, untuk makan sehari-hari pun harus gali lobang tutup lobang," jawab Pak Fulan.
"Lho, kalau begitu dari mana?"
"Alhamdulillah, ada seseorang yang membayarkan biaya operasi kami."
Dokter itu makin penasaran, "Wah hebat benar orang itu. Pastilah dia orang kaya yang sangat dermawan."
"Oh.... Tidak Dok, dia orang biasa-biasa," Pak Fulan kemudi-an menceritakan kisah Pak Ahmad yang rela menunda ibadah haji demi meringankan beban penderitaan dirinya yang sekadar seorang tetangga.
Selesai Pak Fulan bercerita, Dokter itu langsung meminta izin untuk diperkenalkan dengan Pak Ahmad. Dia ingin tahu lebih jauh tentang siapa Pak Ahmad itu sebenarnya. Allah pun mempertemukan mereka.
Kepada Pak Ahmad dan istrinya, Dokter ini berkata, "Saya ingin belajar ikhlas seperti yang Ibu-Bapak lakukan. Akan tetapi, bukan di sini, saya ingin belajarnya di Tanah Suci. Jadi, saya dan keluarga akan mengajak serta Ibu dan Bapak pergi ke sana tahun ini."
Mata Pak Ahmad tampak berkaca-kaca. Sejenak, dia tidak bisa berkata-apa. Dia seakan tidak percaya dengan kata-kata yang didengarnya. Hingga akhirnya, ucapan hamdalah terucap dari bibirnya.
Begitulah, sebelum membalas kebaikannya di akhirat, Allah Swt. telah memberikan DP-nya terlebih dahulu di dunia. Harapan Pak Ahmad untuk berhaji dengan istrinya akhirnya terlaksana dalam keadaan yang penuh bahagia.
Ibu Penjual Nasi Uduk Naik Haji
sebuah Ibrah yang dapat kita renungi..
Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap Istiqomah atas sebuah keyakinan dalam menjalankan prinsip hidup..
Alkisah,
Kepada si Ustad, ibu penjual nasi uduk itu — sebut sajalah namanya Ibu Siti — mengutarakan keinganannya yang teramat sangat untuk menunaikan ibadah haji. Sudah bertahun-tahun ia merindukan tanah suci. Ia ingin sujud di hadapan Ka’bah yang selama ini hanya dilihatnya lewat pesawat televisi. Saking rindunya hampir setiap malam Ibu Siti membayangkan mencium Hajar Aswad. Tapi sampai saat ini semuanya masih sebatas angan-angan. Bagai pungguk merindukan bulan, katannya. Sebab ia mengaku cuma seorang janda yang tak punya apa-apa. ” Dengan apa saya akan naik haji,” ujarnya sedih.
“Pekerjaan Ibu, apa?” tanya sang Ustad.
“Ibu setiap pagi hanya berjualan nasi uduk, yang hasilnya tak seberapa,” jelas Ibu Siti.
Pak Ustad lalu menyarankan kepadanya agar sebagian dari hasil penjualan nasi uduknya ditabung setiap hari semampunya.”Bila Ibu rajin dan tekun menabung sembari diiringi doa, mudah-mudahan Allah akan mencukupinya. Dan doa Ibu akan diijabahNYa,” tutur Pak Ustad menyemangati Ibu Siti. “Dan barang siapa yang sudah mulai menabung sesuai dengan kemampuannya untuk biaya perjalanan haji, maka dia bukan cuma telah berniat, tapi ia telah mulai melangkahkan kakinya di Mekah. Bila kemudian ia meninggal, maka insyaAllah ia telah mendapat pahala hajinya, sekalipun ia belum sempat menginjakkan kakinya di Padang Arafah,” lanjut Pak Ustad menjelaskan.
Ibu Siti makin bersemangat mendengar penjelasan Pak Ustad. Ia berjanji akan mulai menabung. Kalau toh nanti uangnya tak mencukupi juga untuk naik haji, bukankan kata Pak Ustad ia telah mendapat pahalanya.
Ia berjualan nasi uduk di pinggir jalan di seberang komplek perumahan mewah dekat tempat tinggalnya. Nasi uduk Ibu Siti memang laris karena terkenal enak. Setiap dagangannya habis langsung ia tabungkan. Jumlahnya tidak tentu, kadang-kadang cuma Rp.5000,-. Kalau hasil penjualannya lumayan, ia bisa menabung Rp.10.000,- sampai Rp.20.000,- setiap harinya. Uang itu dimasukkannya ke dalam celengannya dengan sambil beredoa, bahwa akan digunakannya untuk biaya naik haji. Kadangkala sembari berdoa uang itu dijunjungnya ke kepala baru dimasukkannya ke celengan. Bahkan bila ia sholat malam uang itu diletakkan di atas sajadah. Demikianlah begitu berharapnya Ibu Siti agar niatnya dikabulkan oleh Allah.
SUATU pagi, Ibu Siti kedatangan seorang Bapak yang akan membeli nasi uduknya. Tapi Bapak setengah baya yang kelihatan perlente dan kaya itu tiba-tiba tertegun dan sedih. Ia tertegun bukan karena nasi uduk Ibu Siti sudah habis, melainkan karena ia lihat Ibu Siti sedang mengangkat uang recehan kekepalanya sembari berdoa dengan khusuk dan berharap bisa naik haji dengan uang itu.
Bapak itu betul-betul terharu melihatnya. Begitu terharunya ia sampai berlinang air mata. Ia merasa telah ditampar keras oleh sikap Ibu Siti. Bagaimana tidak; ia yang merasa sudah lebih dari berkecukupan,namun selama ini belum terbuka hatinya untuk menunaikan ibadah haji, sementara Ibu Siti yang cuma tukang nasi uduk sangat mendambakannya walau kesulitan biaya.
Malu pada dirinya sendiri, orang kaya itu berlalu dan langsung pulang. Setiba di rumah ia panggil istrinya. Dan tanpa banyak kata ia langsung mengajak istrinya untuk segera menunaikan ibadah haji. “Tolong Ibu daftarkan untuk tiga orang,” perintahnya. Belum habis kagetnya atas rencana suaminya yang mendadak itu, si istri semakin heran;” Kenapa tiga orang . Untuk siapa satu lagi?” tanyanya.
Suaminya kemudian menjelaskan bahwa niatnya itu timbul berkat ibu tukang nasi uduk yang berjualan di seberang komplek perumahannya. “Kalau bukan karena dia, entah kapan Bapak berniat untuk naik haji,” katanya. Ia lalu menyuruh istrinya untuk memberitahukan kepada penjual nasi uduk itu, sekaligus diminta data-datanya untuk pendaftaran. Dan supaya bisa berangkat pada tahun itu juga, suaminya minta didaftarkan pada paket perjalanan “haji plus”.
Mendapat kabar bahagia yang sangat mengejutkan itu, Ibu Siti langsung sholat sujud syukur. Betapa tidak, mimpinya untuk menempuh Padang Arafah, sholat di hadapan Ka’bah, dan mencium Hajar Aswad, tak lama lagi akan menjadi kenyataan. Benar juga yang dikatakan Pak Ustad, katanya dalam hati, bahwa siapa yang rajin menabung sambil berdoa maka Tuhan akan mencukupinya. Walaupun belum cukup setahun ia menabung — itupun jumlah perharinya sangat kecil –sehingga jumlahnya belum seberapa, tapi orang kaya yang hatinya tersentuh itu telah mencukupinya. Bahkan ia akan menunaikan ibadah haji itu dengan fasilitas yang cukup mewah, dan tak perlu menunggu lama.
“Subhanalah… Maha suci Allah…” cuma itu yang bisa diucapkan Pak Ustad ketika Ibu Siti menyampaikan kabar gembira itu. Pak Ustad mengaku merasa takjub. Takjub karena begitu tulus dan ikhlasnya niat tukang nasi uduk ini, Tuhan tidak perlu menunggu lama untuk mengabulkannya.
“Mudah-mudahan ibu bertiga menjadi haji yang mabrur,” doa Pak Ustad.
Semoga ada yang dapat dipetik dari kisah penjual nasi uduk ini. Paling tidak kita menjadi paham bahwa setiap orang bebeda-beda cara untuk merespon panggilan melaksanakan ibadah haji itu. Bagi Ibu Siti misalnya, walaupun tidak mampu, tapi ia sangat mendambakannya. Untuk itu ia kemudian bekerja keras sambil berdoa demi mewujudkan mimpinya. Tapi, sementara orang lain yang sudah mampu malah mengabaikan dan mengingkarinya. Bahkan tak jarang diantara mereka menyadari bahwa untuk mengamalkan Rukun Islam yang ke-5 itu sudah wajib baginya.
Padahal peringatan Allah cukup keras bagi mereka yang sudah mampu tapi masih juga mengingkari panggilan haji. Pada salah satu ayat yang mewajibkan ibadah haji Allah telah berfirman : “ Dan bagi mereka yang mengingkari (perintah haji ini) sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” ( Ali Imron 3.97).
Memang sebuah sindiran, bahkan ancaman yang amat tajam dari Allah Swt untuk mereka yang sudah mampu. Semoga!!!
Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap Istiqomah atas sebuah keyakinan dalam menjalankan prinsip hidup..
Alkisah,
Kepada si Ustad, ibu penjual nasi uduk itu — sebut sajalah namanya Ibu Siti — mengutarakan keinganannya yang teramat sangat untuk menunaikan ibadah haji. Sudah bertahun-tahun ia merindukan tanah suci. Ia ingin sujud di hadapan Ka’bah yang selama ini hanya dilihatnya lewat pesawat televisi. Saking rindunya hampir setiap malam Ibu Siti membayangkan mencium Hajar Aswad. Tapi sampai saat ini semuanya masih sebatas angan-angan. Bagai pungguk merindukan bulan, katannya. Sebab ia mengaku cuma seorang janda yang tak punya apa-apa. ” Dengan apa saya akan naik haji,” ujarnya sedih.
“Pekerjaan Ibu, apa?” tanya sang Ustad.
“Ibu setiap pagi hanya berjualan nasi uduk, yang hasilnya tak seberapa,” jelas Ibu Siti.
Pak Ustad lalu menyarankan kepadanya agar sebagian dari hasil penjualan nasi uduknya ditabung setiap hari semampunya.”Bila Ibu rajin dan tekun menabung sembari diiringi doa, mudah-mudahan Allah akan mencukupinya. Dan doa Ibu akan diijabahNYa,” tutur Pak Ustad menyemangati Ibu Siti. “Dan barang siapa yang sudah mulai menabung sesuai dengan kemampuannya untuk biaya perjalanan haji, maka dia bukan cuma telah berniat, tapi ia telah mulai melangkahkan kakinya di Mekah. Bila kemudian ia meninggal, maka insyaAllah ia telah mendapat pahala hajinya, sekalipun ia belum sempat menginjakkan kakinya di Padang Arafah,” lanjut Pak Ustad menjelaskan.
Ibu Siti makin bersemangat mendengar penjelasan Pak Ustad. Ia berjanji akan mulai menabung. Kalau toh nanti uangnya tak mencukupi juga untuk naik haji, bukankan kata Pak Ustad ia telah mendapat pahalanya.
Ia berjualan nasi uduk di pinggir jalan di seberang komplek perumahan mewah dekat tempat tinggalnya. Nasi uduk Ibu Siti memang laris karena terkenal enak. Setiap dagangannya habis langsung ia tabungkan. Jumlahnya tidak tentu, kadang-kadang cuma Rp.5000,-. Kalau hasil penjualannya lumayan, ia bisa menabung Rp.10.000,- sampai Rp.20.000,- setiap harinya. Uang itu dimasukkannya ke dalam celengannya dengan sambil beredoa, bahwa akan digunakannya untuk biaya naik haji. Kadangkala sembari berdoa uang itu dijunjungnya ke kepala baru dimasukkannya ke celengan. Bahkan bila ia sholat malam uang itu diletakkan di atas sajadah. Demikianlah begitu berharapnya Ibu Siti agar niatnya dikabulkan oleh Allah.
SUATU pagi, Ibu Siti kedatangan seorang Bapak yang akan membeli nasi uduknya. Tapi Bapak setengah baya yang kelihatan perlente dan kaya itu tiba-tiba tertegun dan sedih. Ia tertegun bukan karena nasi uduk Ibu Siti sudah habis, melainkan karena ia lihat Ibu Siti sedang mengangkat uang recehan kekepalanya sembari berdoa dengan khusuk dan berharap bisa naik haji dengan uang itu.
Bapak itu betul-betul terharu melihatnya. Begitu terharunya ia sampai berlinang air mata. Ia merasa telah ditampar keras oleh sikap Ibu Siti. Bagaimana tidak; ia yang merasa sudah lebih dari berkecukupan,namun selama ini belum terbuka hatinya untuk menunaikan ibadah haji, sementara Ibu Siti yang cuma tukang nasi uduk sangat mendambakannya walau kesulitan biaya.
Malu pada dirinya sendiri, orang kaya itu berlalu dan langsung pulang. Setiba di rumah ia panggil istrinya. Dan tanpa banyak kata ia langsung mengajak istrinya untuk segera menunaikan ibadah haji. “Tolong Ibu daftarkan untuk tiga orang,” perintahnya. Belum habis kagetnya atas rencana suaminya yang mendadak itu, si istri semakin heran;” Kenapa tiga orang . Untuk siapa satu lagi?” tanyanya.
Suaminya kemudian menjelaskan bahwa niatnya itu timbul berkat ibu tukang nasi uduk yang berjualan di seberang komplek perumahannya. “Kalau bukan karena dia, entah kapan Bapak berniat untuk naik haji,” katanya. Ia lalu menyuruh istrinya untuk memberitahukan kepada penjual nasi uduk itu, sekaligus diminta data-datanya untuk pendaftaran. Dan supaya bisa berangkat pada tahun itu juga, suaminya minta didaftarkan pada paket perjalanan “haji plus”.
Mendapat kabar bahagia yang sangat mengejutkan itu, Ibu Siti langsung sholat sujud syukur. Betapa tidak, mimpinya untuk menempuh Padang Arafah, sholat di hadapan Ka’bah, dan mencium Hajar Aswad, tak lama lagi akan menjadi kenyataan. Benar juga yang dikatakan Pak Ustad, katanya dalam hati, bahwa siapa yang rajin menabung sambil berdoa maka Tuhan akan mencukupinya. Walaupun belum cukup setahun ia menabung — itupun jumlah perharinya sangat kecil –sehingga jumlahnya belum seberapa, tapi orang kaya yang hatinya tersentuh itu telah mencukupinya. Bahkan ia akan menunaikan ibadah haji itu dengan fasilitas yang cukup mewah, dan tak perlu menunggu lama.
“Subhanalah… Maha suci Allah…” cuma itu yang bisa diucapkan Pak Ustad ketika Ibu Siti menyampaikan kabar gembira itu. Pak Ustad mengaku merasa takjub. Takjub karena begitu tulus dan ikhlasnya niat tukang nasi uduk ini, Tuhan tidak perlu menunggu lama untuk mengabulkannya.
“Mudah-mudahan ibu bertiga menjadi haji yang mabrur,” doa Pak Ustad.
Semoga ada yang dapat dipetik dari kisah penjual nasi uduk ini. Paling tidak kita menjadi paham bahwa setiap orang bebeda-beda cara untuk merespon panggilan melaksanakan ibadah haji itu. Bagi Ibu Siti misalnya, walaupun tidak mampu, tapi ia sangat mendambakannya. Untuk itu ia kemudian bekerja keras sambil berdoa demi mewujudkan mimpinya. Tapi, sementara orang lain yang sudah mampu malah mengabaikan dan mengingkarinya. Bahkan tak jarang diantara mereka menyadari bahwa untuk mengamalkan Rukun Islam yang ke-5 itu sudah wajib baginya.
Padahal peringatan Allah cukup keras bagi mereka yang sudah mampu tapi masih juga mengingkari panggilan haji. Pada salah satu ayat yang mewajibkan ibadah haji Allah telah berfirman : “ Dan bagi mereka yang mengingkari (perintah haji ini) sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” ( Ali Imron 3.97).
Memang sebuah sindiran, bahkan ancaman yang amat tajam dari Allah Swt untuk mereka yang sudah mampu. Semoga!!!